PANGANDARAN JAWA BARAT - Beredar kabar terkait adanya kejadian keributan di sekitar Pamugaran yang melibatkan Bupati Pangandaran dengan salah sorang mantan ketua Ormas, Sdr. Nandang Suhendar bin Solihin alias Ujang Bendo mengundang reaksi dari Tokoh Muda Pangandaran yang sekaligus sebagai ketua DPD KNPI Kabupaten Pangandaran Bung Rohimat Resdiana yang akrab disapa Imat.
Menurut Bung Imat, setelah menganalisa permasalahan yang terjadi dan setelah tabayun kepada Bupati Pangandaran, bung Imat berpendapat bahwa kejadian tersebut terjadi dikarenakan Sdr. Nandang Suhendar bin Solihin alias Ujang Bendo telah melakukan perbuatan melawan hukum, dikarenakan secara jelas dan terang benderang telah mencabut segel penutupan tempat hiburan malam yang sedang ditertibkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangandaran, yang mana seolah-olah dirinya menangtang Pemerintah Daerah Kabupaten Pangandaran, hal terebut diduga dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan, sebagaimana tersirat dan tersurat dalam Pasal 232 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa dengan sengaja memutus, membuang atau merusak penyegelan suatu benda oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang, atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
*Idiom “Barang Siapa” dalam KUHP merujuk kepada orang atau perseorangan. Bahwa kami meyakini Sdr. Nandang Suhendar bin Solihin alias Ujang Bendo mengetahui bahwa Pemerintah Daerah dalam hal ini Penguasa Umum yang berwenang sedang mengadakan penertiban tempat hiburan malam yang illegal atau melanggar hukum, karena tempat hiburan malam tersebut tidak berizin serta tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Pangandaran.
Diketahui bahwa dengan demikian Sdr. Nandang Suhendar bin Solihin alias Ujang Bendo dengan sengaja telah merusak penyegelan suatu benda oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang, atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel.
Baca juga:
KPK Apresiasi Peningkatan Skor IPAK 2022
|
Selanjutnya bung imat berpendapat, bahwa yang dilakukan oleh Bapak Jeje Wiradinata (Bupati Pangandaran) pada saat itu dalam keadaan terpaksa, karena sebagai pejabat yang bertanggungjawab terhadap penyegelan tempat hiburan malam yang melanggar dan tidak berizin yang dilakukan oleh Satpol PP yang dengan sengaja di cabut dan/atau dirusak oleh Sdr. Nandang Suhendar bin Solihin alias Ujang Bendo, hal tersebut memicu emosi Bapak Jeje Wiradinata (Bupati Pangandaran) sebagai pejabat publik di Kabupaten Pangandaran.
Bahwa apa yang dilakukan oleh Sdr. Nandang Suhendar bin Solihin alias Ujang Bendo memaksa pejabat melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan jabatan yang sah, maka dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Hal tersebut sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pasal 211 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pegawai negeri supaya menjalankan perbuatan jabatan atau mengalpakan perbuatan jabatan yang sah, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Bahwa Terjemahan-terjemahan telah dibuat terhadap KUHP, termasuk juga Pasal 211 KUHP, oleh para ahli hukum pidana Indonesia agar KUHP dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak menguasai bahasa Belanda.
Adapun terjemahan Pasal 211 KUHP menurut beberpa ahli, adalah sebegai berikut : 1. Terjemahan Tim Penerjemah BPHN terhadap Pasal 211 KUHP: “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
2. Terjemahan P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir terhadap Pasal 211 KUHP: “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pegawai negeri untuk melaksanakan suatu tindakan jabatan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan jabatan yang sah, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
3. Terjemahan R. Soesilo terhadap Pasal 211 KUHP: “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pegawai negeri supaya menjalankan perbuatan jabatan atau mengalpakan perbuatan jabatan yang sah, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”.
4. Terjemahan S.R. Sianturi terhadap Pasal 211 KUHP: “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pegawai negeri untuk melakukan suatu karya-jabatan atau melalaikan suatu karya-jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun”.
Sedangkan berdasarkan keterangan ahli Wirjono Prodjodikoro, “tindak pidana ini adalah suatu pengkhususan (species) dari tindak pidana yang semacam, tetapi bersifat luas (algemeen) dari pasal 335 ayat 1 ke 1”. Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP mengancamkan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun dan denda maksimum Rp. 4.500, 00 terhadap, “barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.
Oleh Wirjono Prodjodikoro dikatakan rumusan perbuatan memaksa dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 ini bersifat luas (algemeen), sedangkan Pasal 211 KUHP merupakan pengkhususan (species).
Unsur-unsur dari Pasal 211 KUHP dengan memperhatikan beberapa terjemahan sebelumnyam, yaitu :
1. barang siapa.
2. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
3. Memaksa.
4. Seorang pejabat (pegawai negeri, ambtenaar).
5. untuk melakukan perbuatan jabatan (tindakan jabatan, karya-jabatan, ambtsverrichting) atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan (tindakan jabatan, karya-jabatan, ambtsverrichting) yang sah.
Sedangkan pengertian ambtenaar (pejabat, pegawai negeri) dalam peraturan perundang-undangan umum, juga mengadakan perluasan pengertian ambtenaar (pejabat, pegawai negeri) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 92 KUHP bahwa :
1. Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.
2. Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orangorang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama.
3. Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat. ** (Imat)